Munajat cinta


Ya Allah, apa pun yang akan EngkauKaruniakan kepadaku di dunia ini,Berikanlah kepada musuh-musuhMu, Dan apa pun yang akan EngkauKaruniakan kepadaku di akhirat nanti,Berikanlah kepada sahabat-sahabatMu, Karena Engkau sendiri, cukuplah bagiku ( Syair: Robi`ah Al-Adawiyah)

Pada suatu ketika, Rābi’ah ditanya pendapatnya tentang batasan konsepsi cinta. Rābi’ah menjawab :
“Cinta berbicara dengan kerinduan dan perasaan. Mereka yang merasakan cinta saja yang dapat mengenal apa itu cinta. Cinta tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Tak mungkin orang dapat menjelaskan sesuatu yang belum dikenalnya. Atau mengenali sesuatu yang belum pernah digaulinya. Cinta tak mungkin dikenal lewat hawa nafsu terlebih bila tuntutan cinta itu dikesampingkan. Cinta bisa membuat orang jadi bingung, akan menutup untuk menyatakan sesuatu. Cinta mampu menguasai hati.”

dalam syairnya :
أُحِبُّكَ حُبَّيْنِ حُبُّ الْهَوَى # وَحُبُّ لَأَنَّكَ أَهْلٌ لِذَاكَ
فَأَمَّا الَّذِيْ هُوَ حُبُّ الْهَوَى # فَشُغْلِيْ بِذِكْرِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
وَأَمَّا الَّذِيْ أَنْتَ أَهْلٌ لَهُ # فَكَشْفُكَ لِيَ الْحِجَابُ حَتَّى أَرَاكَ
فَلاَ الْحَمْدُ فِيْ ذَا وَلاَ ذَاكَ لِيْ # وَلَكِنَّ 
لَكَ الْحَمْدُ فِيْ ذَا وَذَاكَ



“Aku mencintaimu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu. Adapun cinta karena diriku adalah keadaanku yang selalu mengingat-Mu. Adapun cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat. Baik untuk ini maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku, bagi-Mulah pujian baik untuk ini maupun untuk itu.”


إِلَهِيْ هَذَا اللَّيْلُ قَدْ أَدْبَرَ وَهَذَا النَّهَارُ قَدْ أَسْفَرَ فَلَيْتَ شَعْرِى أَقْبَلْتَ مِنْ لَيْلَتِى فَأَهْنَأَ أَمْ رَدَدْتَهَا فَأَعْزَى فَوَعَزْتُكَ هَذَا دَأْبِى مَا أَحْيَيْتَنِى وَأَعْنَتَنِى، وَعِزَّتُكَ لَوْ طَرِدْتَنِى عَنْ بَابِكَ مَا بَرِحْتُ عَنْهُ لِمَا وَقَعَ فِى قَلْبِى مَنْ مَحَبَّتِكَ
“Tuhanku, malam telah berlalu dan siang telah menampakkan diri. Aku gelisah, apakah amalku Engkau terima hingga aku merasa gembira atau Engkau tolak hingga aku merasa sedih? Demi Mahakuasa-Mu inilah yang aku lakukan selama aku Engkau beri hayat. Sekiranya Engkau mengusir aku dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi, karena cintaku pada-Mu telah memenuhi hatiku.”

بِأَنِّي مَا عَبَدْتُ اللهَ حُبًّا فِى جَنَّتِهِ وَلاَ خَوْفًا مِنْ نَارِهِ بَلْ عَبَدْتُهُ حُبًّا لَهُ وَشَوْقًا إِلَيْهِ
“Sesungguhnya aku tidak menyembah Allah karena mencintai surga-Nya, dan bukan pula takut neraka-Nya, tetapi aku menyembah-Nya karena mencintai-Nya dan merindukan-Nya.”

Mahabbah (Cinta) merupakan maqām tertinggi dalam kesufiannya. Tahapan-tahapan kesufian Rābi’ah ialah taubah, zuhud, ridla, muraqabah, dan terakhir, mahabbah. Bagi Rābi’ah, cinta kepada Allah merupakan pendorong segala aktivitasnya. Dalam hidupnya di dunia ini, dia hanya ingin mengingat Tuhan dan di akhirat nanti, dia hanya ingin bertemu dengan Tuhan. Hati Rābi’ah telah dipenuhi oleh rasa cinta sampai tak ada ruang untuk membenci sesuatu, termasuk kepada setan. Hal ini tercetus sewaktu ditanya tentang setan, dia menjawab, “Tidak (benci), cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci pada setan.” Tentang cintanya kepada Nabi Muhammad Saw., dia menyatakan,” Saya cinta kepada Nabi, tetapi cintaku kepada Sang Pencipta memalingkan diriku dari cinta kepada makhluk.”
Wallāhu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA

btemplates